Kemarin saya sempat membaca jurnal
berbahasa Arab dari seorang asisten profesor. Tumben juga saya membaca ginian,
padahal sehari2 lbh byk baca status kamuuu :p [Contoh dosen ngelesnya Indonesia
hihi]. Okey, kembali serius!
Di situ Prof. Ahmad Muhammad membahas
tentang "paksaan". Dalam kajian fiqhi, terma ‘dipaksa’ dan ‘tidak
dipaksa’ menjadi salah satu konsen pembahasan ulama. Orang yang dipaksa
(almukrah) dan orang yang tidak dipaksa (al-mukhtar) memiliki konsekuensi/hukum
yang berbeda terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Menariknya, setiap fuqaha memiliki
pengertian dan batasan berbeda-beda tentang terma tersebut, terutama dalam
masalah “paksaan”. Hanafiyah sendiri menjelaskan bahwa
paksaan/al-ikhraah itu ada dua macam, ada bentuk paksaan penuh dan adapula
paksaan setengah. Paksaan penuh membuat yang dipaksa
kehilangan kuasa sekaligus tidak punya pilihan lain selain melakukan yang
dipaksakan kepadanya. Sementara paksaan setengah berakibat
seseorang menjadi “setengah dipaksa”, karena dia sebenarnya masih punya pilihan
lain.
Saya tidak perlu berpanjang lebar membahas
kajian ‘paksaan’ dalam fiqhi. Saya hanya ingin memberikan gambaran dan
perbandingan bahwa ternyata masalah “mau atau tidak mau, dan rela atau tidak
rela’ berpengaruh sangat besar terhadap cabang2 masalah hukum Islam, artinya
ini masalah yang penting terutama menyangkut kehidupan kita sehari-hari.
Sejatinya, kerelaan itu bisa dihayati
maknanya jika kita pernah merasakan ‘dipaksa’. Orang-orang yang gak pernah
ngalami bagaimana dipaksa kerja rodi sama penjajah, tidak akan tahu nikmatnya
merdeka. Hubungan suami istri pun terkadang begitu: suami dipaksa memenuhi gaya
hidup istri padahal sebenarnya ia tidak mampu. Maka suami yang begini akan
memilih poligami, biar bisa merasakan nikmatnya istri yang gak suka maksa2
hahah. *tertawa ala provokator*
Namun dalam beberapa hal, saya melihat
bahwa justru kerelaan bisa jadi berawal dari paksaan. Teman saya yang dipaksa
secara sempurna untuk menikah dengan sopir truk padahal ia punya lelaki idaman,
ternyata sekarang dia menjadi orang yang tidak rela jika suaminya bepergian
meski cuma sehari dua hari. Anak santri yang tadinya tidak pernah salat Duha di
rumahnya, dipaksa mengikuti aturan pondok akhirnya berubah menjadi santri yang
paling rajin salat sunat ketika pulang ke rumahnya. Istri2 yang aslinya males
bersih2, tapi karena dipaksa mertua, akhirnya jadi perempuan yang paling ringan
tangan untuk bersih2.
Saya sendiri pernah merasakan keajaiban
paksaan. Saya menyebutnya dengan pemaksaan yang indah hahah. Tapi, sepertinya
bulan ramadan tidak pas untuk buka-bukaan *buka cerita maksudnya*. Itu kan,
pada akhirnya saya tidak pernah ‘kuat’ menulis sesuatu dengan serius, dengan
gaya bahasa yang serius, lebih dari satu halaman. Kecuali jika saya memilih
untuk dipaksa :)
Btw, saya gak dipaksa update blog ini
setelah sekian abad. Saya cuma pengen ngetes, apakah saya masih ingat
passwordnya :D
2 komentar:
assalamualaikum Tante Dosen...
ternyata alhamdulillah masih inget password nya ya
hehehe
Wah, kayanya aku juga harus "dipaksa" untuk lebih positif, hihihi :)
Posting Komentar