Senin, 13 Juni 2016

Rela atau Dipaksa

Kemarin saya sempat membaca jurnal berbahasa Arab dari seorang asisten profesor. Tumben juga saya membaca ginian, padahal sehari2 lbh byk baca status kamuuu :p [Contoh dosen ngelesnya Indonesia hihi]. Okey, kembali serius! 

Di situ Prof. Ahmad Muhammad membahas tentang "paksaan". Dalam kajian fiqhi, terma ‘dipaksa’ dan ‘tidak dipaksa’ menjadi salah satu konsen pembahasan ulama. Orang yang dipaksa (almukrah) dan orang yang tidak dipaksa (al-mukhtar) memiliki konsekuensi/hukum yang berbeda terhadap perbuatan yang dilakukannya.

Menariknya, setiap fuqaha memiliki pengertian dan batasan berbeda-beda tentang terma tersebut, terutama dalam masalah “paksaan”.  Hanafiyah sendiri menjelaskan bahwa paksaan/al-ikhraah itu ada dua macam, ada bentuk paksaan penuh dan adapula paksaan setengah. Paksaan penuh membuat yang dipaksa kehilangan kuasa sekaligus tidak punya pilihan lain selain melakukan yang dipaksakan kepadanya. Sementara paksaan setengah berakibat seseorang menjadi “setengah dipaksa”, karena dia sebenarnya masih punya pilihan lain.

Saya tidak perlu berpanjang lebar membahas kajian ‘paksaan’ dalam fiqhi. Saya hanya ingin memberikan gambaran dan perbandingan bahwa ternyata masalah “mau atau tidak mau, dan rela atau tidak rela’ berpengaruh sangat besar terhadap cabang2 masalah hukum Islam, artinya ini masalah yang penting terutama menyangkut kehidupan kita sehari-hari.

Sejatinya, kerelaan itu bisa dihayati maknanya jika kita pernah merasakan ‘dipaksa’. Orang-orang yang gak pernah ngalami bagaimana dipaksa kerja rodi sama penjajah, tidak akan tahu nikmatnya merdeka. Hubungan suami istri pun terkadang begitu: suami dipaksa memenuhi gaya hidup istri padahal sebenarnya ia tidak mampu. Maka suami yang begini akan memilih poligami, biar bisa merasakan nikmatnya istri yang gak suka maksa2 hahah. *tertawa ala provokator*


Namun dalam beberapa hal, saya melihat bahwa justru kerelaan bisa jadi berawal dari paksaan. Teman saya yang dipaksa secara sempurna untuk menikah dengan sopir truk padahal ia punya lelaki idaman, ternyata sekarang dia menjadi orang yang tidak rela jika suaminya bepergian meski cuma sehari dua hari. Anak santri yang tadinya tidak pernah salat Duha di rumahnya, dipaksa mengikuti aturan pondok akhirnya berubah menjadi santri yang paling rajin salat sunat ketika pulang ke rumahnya. Istri2 yang aslinya males bersih2, tapi karena dipaksa mertua, akhirnya jadi perempuan yang paling ringan tangan untuk bersih2.

Saya sendiri pernah merasakan keajaiban paksaan. Saya menyebutnya dengan pemaksaan yang indah hahah. Tapi, sepertinya bulan ramadan tidak pas untuk buka-bukaan *buka cerita maksudnya*. Itu kan, pada akhirnya saya tidak pernah ‘kuat’ menulis sesuatu dengan serius, dengan gaya bahasa yang serius, lebih dari satu halaman. Kecuali jika saya memilih untuk dipaksa :) 

Btw, saya gak dipaksa update blog ini setelah sekian abad. Saya cuma pengen ngetes, apakah saya masih ingat passwordnya :D


2 komentar:

DIJA mengatakan...

assalamualaikum Tante Dosen...
ternyata alhamdulillah masih inget password nya ya
hehehe

dunia kecil indi mengatakan...

Wah, kayanya aku juga harus "dipaksa" untuk lebih positif, hihihi :)