Sabtu, 29 Agustus 2009

BATAS HATI

Siang begitu terik seakan menghisap seluruh energi yang kumiliki. Musim dingin belum jua berakhir namun rasa gerah dengan rapat menggerogoti tubuhku. Untuk pertama kalinya dalam sejarah musim dingin ini aku berkeringat meski tak sebanjir di musim panas. Kakiku yang pendek mulai pegal dan keram. Aku memutar-mutar pergelangan kaki berharap aliran darahku kembali lancar. Kupandangi barisan thabur yang benar-benar ditaburi manusia, ada hitam, ada putih dan cokelat muda sepertiku. Tubuhku yang tingginya di bawah rata-rata semakin tenggelam di tengah kerumunan orang-orang.

"Khalas..khalas...tigi bukrah!" teriak ablah penjaga muqarrar dengan matanya yang melotot menembus kacamatanya yang tanpa frame.

"Ya ablah! Pliiizz..." seru anak Rusia yang berdiri di antrian paling depan setengah ngotot meminta dirinya dilayani. Beberapa mahasiswi berkulit hitam terlihat kesal dan mengomel dalam bahasa campuran. Ablah yang memang terkenal galak itu tetap tak bergeming dan dengan sadisnya menutup jendela kaca yang berdebu. Blam! Seketika itu juga tubuhku terasa lemas, ingin rasanya jatuh tak sadarkan diri di tengah kerumunan manusia yang mendengus kesal. Ini sudah kedua kalinya aku harus pulang hampa tanpa muqarrar setelah bersusah-payah antri. Huh...benar-benar hari yang sial! Kutendang kerikil kecil di depanku seraya menggerutu tak karuan. Menggerutu pada diri sendiri.

"Ma'alesy ya, Bu, thaburnya gagal lagi," ujarku di ponsel.

"Ya, gak papa, Sri, besok kan bisa coba lagi," sahut Alya dengan lembut. Hah, besok?! Aku menarik nafas dan menutup pembicaraan sebelum emosiku meledak. Bisa-bisa Alya yang tak bersalah jadi sasaran kekesalanku. Alya adalah teman sekelasku yang baru saja habis melahirkan bulan lalu. Jadi tak heran bila dia memintaku membelikannya muqarrar yang sudah turun.

Sebenarnya kalau tempat antrian muqarrar masih di tempat yang lama, mungkin aku tak bakal bernasib seperti ini. Entah apa alasannya mendadak loket buku dipindah ke tempat lain. Parahnya lagi, tempat thabur harus di luar jendela, tanpa atap, tepat di bawah sinar matahari langsung yang sudah siap menyambut para pengantri. Ketika matahari menghilang, angin dingin menyerang hingga ke tulang. Ah, kampusku yang usang, engkau memang sangat lihai menguji kesabaranku!

Aku berjalan pulang, kurogoh saku jaketku dan mengeluarkan kertas kecil yang sudah koyak. Bukan judul kitab yang aku perhatikan, namun nama-nama yang tertulis rapi disitu. Ada tiga orang yang menitip pembelian muqarrar kepadaku. Biasalah, para aktifis yang jarang ke kampus, kerjaannya nitip sana nitip sini. Berbeda denganku, hanya seorang aktifis tukang thabur! Aku menghela nafas panjang. Sepertinya kali ini aku harus mengembalikan titipan mereka, gumamku dalam hati. Meski besok pagi kuputuskan untuk kembali thabur di tempat tadi, aku tak mau ada beban titipan. Setidaknya aku tak merasa bertambah berat dengan amanah mereka. Kecuali Alya, tentunya.
* * *
Hari ini aku berangkat kuliah dengan energi penuh. Semangkok fuul sengaja kuhabiskan untuk persiapan pertempuran melawan ablah yang galak itu. Aku mengubah strategi, berangkat lebih pagi dengan harapan antrian tak akan sezahmah di waktu siang. Ternyata dugaanku meleset seratus delapan puluh derajat. Ada banyak orang yang berpikiran sama denganku hari ini. Untunglah posisiku tak terlalu jauh di belakang. Kulirik jam, masih ada tiga puluh menit sebelum muhadharah dimulai. Dukturah Nibel, dukturah hadisku itu menjungjung tinggi prosentase kehadiran dan tak pernah luput mengabsen kelas. Aku tak mau nilai ujianku dikurangi gara-gara tak hadir untuk ketiga kalinya.

"Ya ablah, bissur'ah!" teriak seorang Mashriyyah di depanku. Aku merengsek maju dengan senyum bahagia, kali ini tiba giliranku di posisi terdepan. Aku memasukkan tanganku yang menggenggam beberapa lembar pound setelah menyebut judul muqarrar yang ingin kubeli. Sepertinya aku belum bisa bernafas lega karena belum sempat ablah memberiku satu muqarrar pun, seorang ammu datang dengan setumpuk berkas. Entah apa yang menjadi perdebatan mereka, aku tak mau berpusing-ria memikirkan hal itu. Dengan sabar aku menunggu dan menunggu sampai-sampai antrian kembali panjang. Kupanggil-panggil ablah itu dengan memasang muka melas. Mataku terbelalak melihat jam yang sudah memberiku isyarat bahwa aku telah terlambat lima menit. Kutarik nafas berkali-kali agar kesabaranku tak melayang.

Bukk! Aduuh!
Aku berbalik dan mendapati seorang teman Mesir yang tadi menubrukku dari belakang.

"Ma'alesy," sahutnya sambil memarahi temannya yang tadi mendorongnya karena tak sabaran. Aku berdiri menahan rasa dongkol luar biasa. Untunglah ablah itu langsung memberiku muqarrar meski sempat marah-marah setelah diteriaki oleh teman Mesir tadi. Setelah menerima uang kembalian, terburu-buru aku meniti tangga menuju kelasku di lantai dua. Aku berdoa semoga Dukturah Nibel belum datang. Di depan pintu kelas aku mengatur nafas dengan dada bergemuruh. Aku mengintip lewat pintu yang sedikit terbuka.
Ya Allah...dukturahnya sudah hadir?! Desisku putus asa. Terlambat sudah, tak ada toleransi! Artinya aku harus siap menerima nilai maddah hadisku di ambang makbul  !

Aku menuruni tangga dengan hati nelangsa. Kuhirup udara segar sebanyak-banyaknya setelah berada di luar gedung kulliyah. Aku duduk di sebuah bangku kayu berusaha menenangkan diri. Dua jam bukan waktu yang singkat untuk sekedar duduk manis tanpa berbuat apa-apa. Aku bimbang, pulang atau tetap menunggu jam kuliah berikutnya. Aku tak memilih keduanya, kuputuskan untuk berkunjung ke rumah Alya sekalian memberinya muqarrar titipannya. Kurogoh saku jaket mencari ponselku. Seketika wajahku pucat mendapati ponselku sudah tak ada di tempat.

"Mungkin jatuh di tangga pas aku lari..." bisikku menenangkan diri padahal jantungku sudah berdebar tak karuan. Kusisiri lantai demi lantai, tangga demi tangga, namun hasilnya nihil. Aku berlari bolak-balik dari depan kelas dan tempat antrian tadi. Tak ada! Bayangan mahasiswi yang menabrakku tadi sewaktu antrian tiba-tiba memenuhi kepalaku. Astaghfirullah...aku tak bermaksud su'uzhan ya Allah! Kupijak anak tangga terakhir dengan sendi seakan lepas. Kerongkonganku tercekat. Airmataku turun satu-satu begitu saja.

"Sri? Gak kuliah?" tanya Alya setibaku di rumahnya. Aku menggeleng lemah. Matanya menatapku tajam, menelusuri sisa basah di pipiku.

"Ada apa? Kok sembab, gitu matanya?" tanya Alya sekali lagi. Aku terdiam. Kubuka tas dan kusodorkan muqarrarnya.

"Waahh..syukron nih, Sri. Oh ya, tadi aku bikin kolak, entar ya aku ambilin dulu."

"Gak usah, Al, aku buru-buru!" kataku sambil menelan ludah pahit. Dadaku terasa begitu sesak. Aku harus cepat pulang dan menangis sepuasnya di kamarku nanti.

"Sekali lagi syukron, ya," ucap Alya masih terheran melihat sikapku. Tanpa berani mengangkat muka, aku meninggalkan rumah Alya. Masih berbekas kalimat Alya tadi. Nanti kalau muqarrarnya turun, aku nitip dibeliin lagi ya! Andai aku tercipta menjadi orang paling jahat sedunia, tentu sudah dari tadi bibir ini memuntahkan semua kalimat serapah.

Enak ya main nitip aja, emang kamu tahu capeknya?! Emang kamu rasain gimana pegalnya antri di bawah terik? Coba tadi aku gak beliin titipan kamu, mungkin aku gak bakal lama nunggu ablahnya, mungkin aku gak bakal telat muhadharah, mungkin hpku gak akan hilang, mungkin....ah!

Tangisku kembali pecah. Nelangsa, marah, lelah dan sedih bercampur-aduk jadi satu, menembus batas hatiku yang putih. Aku menggigit ujung bibir, perih. Seperti perihnya hatiku yang telah berubah hitam saat ini.
* * *
Dua hari berlalu sejak peristiwa naas itu, aku berusaha bersikap biasa. Hanya Ishma dan Ai yang tahu kalau ponselku yang usianya baru sebulan itu lenyap. Aku tak ingin seluruh dunia tahu dan merayakan betapa malangnya nasib seorang Sri. Satu hal lagi, aku sudah trauma untuk kembali bersusah-payah antri di tempat "brsejarah" itu, apalagi menerima titipan oranglain.

"Ini muqarrar milal?" tanyaku kepada seorang teman Malaysia yang memegang muqarrar baru.

"Iye, baru turun."

"Belinya di tempat yang mana?" tanyaku lagi.

"Di ablah yang garang itu," sahut gadis itu dengan aksen Melayunya. Haha...garang? Mungkin maksudnya galak, ya? Bisikku tergelak sendiri. Mataku mencari sosok Ai untuk menitipkan uang pembelian muqarrar milal. Nampaknya dia sudah sibuk antri di ablah yang garang itu. Kuputuskan menyusulnya kesana untuk memberinya uang.

"Udah ada yang beliin kamu, kok," kata Ai membuatku kaget.

"Siapa?"

"Alya, itu tuh di baris depan," tunjuk Ai membuatku bertambah kaget. Aku menangkap sosok Alya yang tak memperhatikanku karena sibuk antri di tengah sesaknya manusia. Jilbabnya terlihat berantakan. Bukan karena himpitan orang-orang, tapi karena...beban di pundaknya?

"Sayang..sabar ya, mama bentar lagi selesai antrinya," ucap Alya menenangkan anaknya yang sedang sesenggukan di balik gendongannya. Kupandangi sosok Alya yang dewasa, yang sabar berdiri disana dengan pundak yang berat oleh tubuh bayinya. Alya yang baik hati, yang hatinya tak akan seputih hatiku. Aku bahkan tak percaya kalau aku diam-diam telah menodai kepercayaannya.

"Eh, Sri, kebetulan banget, nih muqarrarnya. Tadi sekalian aku beliin, soalnya kan susah antri disini," tegur Alya yang sudah berada di hadapanku dengan wajah lelah. Aku tak tahu harus berkata apa. Mulutku serasa dikunci.

Syukron Alya, kamu baik sekali...
Maafin sikapku yang kemarin...

Aku menelan ludah. Kalimat itu tertahan, hanya bisa bergema dalam hati, tak dapat kukeluarkan. Kutatap Rahman, anak Alya yang merengek kehausan.

"Sori, cinta, si dedenya rewel nih, aku cabut duluan, ya! Main ke rumah, ya!" seru Alya dengan senyum malaikatnya. Aku tiba-tiba merasa malu sendiri. Aku bahkan tak pernah meminta, tapi Alya mau bersusah-payah antri buatku. Pastilah Alya merasa tidak enak dengan sikap burukku waktu itu, sampai-sampai dia sungkan untuk menitip muqarrar lagi.

"Alya!" teriakku mengejarnya. Sebelum dia menoleh, aku telah memeluknya dengan mata basah.

"Jazakillah..." ucapku pelan. Hanya itu yang bisa kuucapkan padanya. Pada dia yang telah membuka hatiku untuk memaknai keikhlasan sebenarnya. (Dedicated to someone. For Sri, jazakillah, ya!).
* * *

kosakata bahasa Mesir:
thabur: antri

khalas..khals tigi bukrah: sudah...sudah...datang lagi besok!
Ya Ablah: panggilan umum untuk prempuan
muqarrar: diktat kuliah
ma'alesy: maaf
zahmah: ramai, sesak
Ya Ablah, bisur'ah: cepetan, Ablah!
Ammu: sebutan umum untuk laki2
muhadorah: jam kuliah 
syukran/ jazakillah  terima kasih

(dimuat di Buletin Marhalah el-Zeeda, "AKADEMIKA" edisi perdana April 2009)
 

Tidak ada komentar: