Jumat, 28 Agustus 2009

JIDAT HITAM

Siraj terperangah menatap pantulan dirinya di cermin. Dia merasa betapa aneh wajahnya kini. Ada perubahan kecil disana yang sedikit mengundang keterkejutannya. Bukan pada jerawatnya yang kini perlahan mengundurkan diri dari permukaan pipi tirusnya. Bukan pula warna kulit wajahnya yang berubah lebih gelap dari sebelumnya karena efek musim panas. Tapi ada sesuatu yang lain, membuatnya tak habis pikir kenapa sesuatu itu bisa muncul di atas sana, tepat di jidatnya. Itu adalah titik hitam yang semakin lama semakin jelas!

“Wah, itu kan min atsarissujud, Raj,” komentar teman sekamarnya, Imam, ketika dia memperlihatkan perubahan di wajahnya itu.

“Ah, masa iya, Mam, sujudku kan biasa-biasa aja. Lagian aku juga jarang tahajjud,” ujar Siraj yang masih sibuk mengamati titik hitam di jidatnya.

“Ya, anggap aja tanda keberuntungan, Bro,” sambung Imam senyum-senyum.

“Tanda keberuntungan? Maksudnya biar semua dunia mengira kalau aku ahli shalat, gitu? Biar semua orang menilai aku orang alim?” tanya Siraj.

“Yup, maksudnya begitu. Tapi lebih pasnya, beruntung karena hitam di jidatmu itu bukan tai ayam, hehehe...” kata Imam yang langsung disambut senyum kecut Siraj.

Sebenarnya Siraj tak begitu ambil peduli dengan titik hitam di jidatnya itu, namun entah kenapa semakin hari titik hitam itu semakin membuatnya gusar. Awalnya, hanya ada satu titik di atas jidatnya yang cukup lebar. Lama-kelamaan titik hitam itu bertambah tiap minggunya hingga sekarang dia bisa melihat tiga titik hitam disana. Hanya tiga titik! Dan Siraj sudah merasakan dampaknya selama beberapa hari ini.

Ketika menghadiri acara temu alumni pesantrennya, mendadak dia ditunjuk menjadi pembaca doa di penghujung acara. Tentu saja itu membuatnya terheran-heran. Padahal selama ini, Siraj tak pernah tampil di depan khalayak ramai di sebuah acara bahkan untuk berperan sebagai pembawa acara sekalipun. Namun sejak orang-orang dengan jelas dapat melihat jidat hitamnya, Siraj terhitung sudah dua kali menjadi tukang baca doa di dua acara.
“Orang yang rajin tahajjud kan doanya makbul, Raj,” celutuk ketua panitia yang menunjuknya. Dan dengan wajah tak berdaya dia harus menerima peran itu.

Dua hari yang lalu, Fatimah, adik kandungnya datang ke imarahnya untuk menagih uang kiriman orangtua mereka. Betapa terperanjatnya Siraj saat Fatimah bercerita tentang teman-teman buusnya yang tak luput membicarakan dirinya.

“Temanku banyak yang pengen kenal ama Kakak, tapi mereka agak segan,” kata Fatimah sambil menyeruput ashirnya.

“Segan gimana, Dek?”

“Mereka bilang kalau Kakak tuh ikhwan banget, gak suka liat cewek agresif yang mau kenal duluan,” sahut adiknya. “Padahal Imah udah bilang kalau Kakak tuh orangnya biasa aja, gak seperti yang mereka kira.”

“Emang temanmu itu tahu kalau cowok itu alim banget atau nggaknya darimana?” tanya Siraj yang sudah mengira-ngira jawaban adiknya nanti.

“Katanya sih dari penampilan Kakak. Salah satunya wajah Kakak yang beda itu,” kata Fatimah seraya mendekat ke wajahnya lalu menonjok jidatnya. Mulut Siraj meringis seperti hatinya. Untuk kesekian kalinya dia merasa nelangsa, namun dia tak mengungkapkan kegelisahannya itu ke Fatimah.

Dirinya bangkit menuju cermin, terpaku di depan sosoknya sendiri. Matanya masih seperti yang dulu, begitupun hidung dan pipi kurusnya. Dan seharusnya orang-orang juga menilainya masih Siraj yang dulu. Sekali lagi dia mengamati wajahnya dan mendadak rasa sebal menyelimuti hatinya ketika melihat tiga titik hitam yang tersenyum di jidatnya. Tiba-tiba Siraj melihat dirinya berkalungkan tasbih raksasa dengan kain jingga lusuh yang melilit di badannya. Ya, dirinya sudah seperti biksu sekarang! Entah sosok apalagi yang bakal dibayangkannya kalau titik hitam itu bertambah lagi.

Kenapa harus jidat hitam? Kenapa bukan kaki yang bengkak memerah atau kulit tangan yang kepal? Atau kalaupun ada orang yang benar-benar menghabiskan sepanjang malamnya dengan beribadah, kenapa manusia sekelilingnya tak melihat aktualisasi shalat dalam perilakunya? Dan satu lagi pertanyaan yang membuatnya gusar, kenapa harus dia yang memiliki tipe jidat seperti ini? Imam sekamarnya yang lebih rajin tahajjud, lebih lama kalau sujud, lebih alim, dan lebih lainnya, jidatnya bahkan tetap biasa-biasa saja. Tak ada guratan hitam disana seperti jidatnya sekarang. Dan begitu irinya Siraj melihat Imam yang tetap santai menjalani semuanya tanpa harus disibukkan oleh persepsi orang-orang.

“Nah, gimana pendapatmu tentang penampilan baruku, Mam,” tanya Siraj di awal pagi itu. Imam yang sedang sibuk membaca muqarrarnya menoleh dan hampir tergelak melihat wajah Siraj.

“Masya Allah, Bro, sejak kapan kamu mengubah gaya rambutmu? Tapi kok jadi aneh ya,” komentar Imam melihat beberapa helai rambut Siraj yang sengaja dijatuhkan ke depan dahinya.

“Ini buat nutupin jidatku, Mam,” sahut Siraj. Imam menatap wajah temannya itu dan menangkap kegelisahan disana.

“Kalau aku boleh usul, sebaiknya kamu minta solusi yang lebih tepat ke Ustadz Arif, deh,” kata Imam. Siraj terdiam dan kemudian memutuskan untuk mengikuti saran Imam.

Keesokan harinya dia sudah berada di rumah Ustadz Arif yang dulu pernah menjadi seniornya di pondok. “Saya merasa kalau akhir-akhir ini ibadah saya awut-awutan, Tadz,” curhat Siraj.

“Setiap orang pasti mengalami fluktuasi keimanan, Raj. Itu hal yang wajar, yang penting kamu mau bangkit kembali,” sahut Ustadz Arif.

“Masalahnya Tadz, saya ngerasa udah gak ikhlas lagi. Saking gusarnya saya bahkan gak pernah bangun tahajjud lagi, padahal dulunya aja udah jarang.”

“Siraj, saya yakin kamu sudah hafal kalimat yang mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Saat ini kamu sedang diuji oleh pandangan manusia, tergantung kamu mau terpengaruh oleh persepsi itu atau tidak. Bisa jadi memang, penampilan luar manusia menjadi fitnah ataupun menjadi ujian bagi pribadinya.” Siraj mengangkat kepalanya, menatap wajah teduh dihadapannya. Kata-kata Ustadz Arif dirasakannya bak telaga yang membasahi jiwa keringnya kembali. Dia pun pamit pulang dengan dada lega.

Ustadz Arif benar. Satu hal yang luput dari dirinya selama ini adalah dia begitu berlebih-lebihan dengan perubahan kecil yang terjadi di wajahnya. Dia juga menganggap masalah besar perubahan persepsi orang-orang di sekitarnya. Seharusnya dia menganggap semua itu sebagai motivasi bukan intimidasi! Seharusnya dia tak melarikan kekesalannnya pada sesuatu yang merugikan, sampai-sampai ibadahnya yang menjadi tebusan! Sudah beberapa minggu shalatnya amburadul karena memikirkan jidatnya yang menghitam.

Malam itu Siraj sudah bisa tidur dengan pikiran tenang. Tepat jam tiga alarm Siraj berbunyi, mengajaknya menghadap Sang Pengampun Dosa. Untuk pertama kalinya dia bersujud begitu lama. Keheningan malam dan rasa khusyuk beradu memenuhi diri Siraj. Airmatanya berlinang perlahan membasahi sajadahnya. Ketika bangkit dari sujud terakhirnya, azan Shubuh berkumandang. Dia bangkit untuk memperbarui wudhunya. Tiba-tiba dia terpaku mendapati wajahnya di cermin di atas wastafel. Tiga titik hitam itu tak bertambah. Titik hitam yang sudah menodai hatinya selama ini telah hilang tanpa bekas.
* * *

(Dimuat di Buletin ADDARIAH (Almamater DDI di Mesir), edisi 01 Agustus 2009)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih kerana berkongsi cerita..

THESALTASIN@gmail.com mengatakan...

Assalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Yang lebih lucunya lagi , jidatnya hangus ditempat yang tidak jarang tersentuh sajadah. wallahu 'alam

Wassalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Renungan..........


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama”
(HR Ibnu Majah >Ibnu Abbas,)


http://thesaltasin.wordpress.com/2011/04/24/indeks-al-qur%e2%80%99an-114-surat-30-juz/