Selasa, 13 Maret 2012

Goodbye My Nightmare!

Ini adalah rangkaian mimpi buruk dari sisi gelap kehidupanku di masa lalu. Percayalah, setiap orang hebat yang kau temui juga pernah bermimpi buruk, mungkin lebih buruk lagi. Tak pernah ada terang tanpa ada gelap.
Aku menginjak kelas satu SD saat rentetan mimpi buruk itu dimulai. Aku belum bisa menulis, belum bisa membaca. Aku pemalu sekali dan sangat tidak percaya diri. Badanku yang kecil dan kurus seakan menguatkan kenyataan jika aku tak bisa berbuat apa-apa jika orang lain menyakitiku. Hari itu guruku menulis besar-besar kata “delapan” di papan tulis. Karena guruku  killer sekali, dadaku berdegup kencang saat aku disuruh mengeja kata itu. Jari-jariku gemetar dan berkeringat.
De tambah e tambah el…del…tambah a…dela…
Aku mengejanya dalam hati, dengan sangat lambat.
Aku lama sekali mengejanya karena ketakutan hingga akhirnya aku tak berkata apa-apa. Tak mampu menjawab pertanyaan guruku. Dan saat temanku yang lain mengeja kata itu dengan suara yang begitu lantang, aku malu sekali. Dia mengejanya dengan benar dan begitu berani. Masih kuingat dan tetap kuingat selamanya saat guruku menatapku lekat-lekat lalu berkata: “itu dibaca delapan, bodoh!”
Bodoh, rasanya sangat bodoh waktu itu. Seluruh isi kelas menertawakanku habis-habisan. Hingga saat penerimaan raporku yang pertama, aku menangis karena rangking empat belas. Aku bertanya kepada kedua orangtuaku: “apa dulu Bapak dan Mama pernah rangking empat belas dan tidak bisa mengeja kata ‘delapan’ di papan tulis?” Kenyataannya aku bertambah malu saat tahu jawabannya. Orangtuaku bukanlah orang bodoh. Dan seharusnya aku juga begitu.

Setelah itu aku tak pernah rangking empat belas lagi. Aku bahkan sudah sangat lancar berhitung dan membaca. Tapi, aku masih saja anak pemalu dan tidak berani. Aku takut salah, takut jika nanti dimarahi, takut dicubit hingga lebam. Dan mimpi buruk itu tak kunjung pergi. Aku sudah kelas empat ketika peristiwa memalukan itu terjadi. Aku kencing di celana, di ruang kelas, saat guruku sedang serius menulis di papan tulis. Karena perutku juga mulas, ditambah lagi aku takut minta izin ke toilet di tengah pelajaran, aku akhirnya membuang semua isi perutku di bawah bangku. Aroma yang tak sedap dengan cepat memenuhi seluruh ruangan. Teman sebangkuku yang baik hati berbisik padaku: “kamu mencret-mencret, ya? aku gak akan bilang ke siapa-siapa, kok!”
Tentu saja semua pasti tahu darimana bau tak sedap itu berasal. Guruku memarahiku, teman-teman berbisik-bisik sambil mengejekku. “Maya buang air di kelas! Maya buang air di kelas!” Dan aku tertatih-tatih ke toilet membersihkan diriku. Temanku meminjamkan rok dan celananya untukku. Dan aku sendirian menahan malu saat mengepel kotoranku yang berceceran di atas lantai. Satu kelas lalu satu sekolah, dan berita itu akhirnya menjalar satu kampung. Aku tidak masuk sekolah selama dua hari karena malu. Berminggu-minggu setelah peristiwa itu terjadi, teman-teman sekolah masih menyindirku.
Pernah suatu hari, aku bersikeras tak mau ke sekolah lagi. Aku mengurung diri di kamar. Ayahku memaksaku bangun, tapi aku tetap tak bergerak. Akhirnya, ayahku mengambil cabe rawit dan menguleknya dengan keras di mulutku. Aku menangis meraung-raung dalam perjalanan ke sekolah, diseret oleh ayahku. Aku merasa sekolah hanyalah membuatku jadi bodoh.
Tahukah kamu, biasanya semua anak akan senang dan bahagia di hari penerimaan rapor di sekolah. Acara makan-makan dan pengumuman libur panjang selalu ditunggu-tunggu semua anak di sekolahku. Aku tak pernah lupa hari itu saat ibuku sakit keras dan tidak bisa menyiapkan isi rantang untukku. Ayahku membeli sebungkus indomie dan menaruhnya di rantang paling bawah. Di lapis atas, ayah tidak mengisinya dengan ketupat, buras, atau ayam. Rantang itu dibiarkan kosong begitu saja.
Ayah memboncengku di atas motor bututnya dan di balik punggungnya aku membasahi bajunya dengan air mataku. Di gerbang sekolah ayah menyuruhku turun, tapi aku tak mau. Ayah membujukku dengan berjanji membelikanku meja belajar Olympic karena kata guru aku rangking satu. Wali kelasku membujukku masuk kelas, tapi tanganku tak jua melepaskan pergelangan ayahku. Aku malu karena isi rantangku tak seperti teman-temanku yang lain. Dan aku tak bisa berkata jujur tentang apa yang kurasakan.
Ayahku yang berkeringat karena terlalu lama di bawah matahari akhirnya memberiku selembar uang sepuluh ribu. Saat itu, nilai uang itu besar sekali. Akhirnya aku luluh juga karena kasihan pada ayah yang kehabisan akal membujukku. Selembar uang sepuluh ribu itu aku masukkan ke dalam rantangku yang hanya berisi sebungkus indomie.
Ayahku benar-benar memberiku sebuah meja belajar berwarna biru. Di meja belajar itu  tertulis kalimat: rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Tapi bagaimana aku mendapatkan meja belajar itu, tak kunjung hilang dari benakku. Dan peristiwa seperti itu hampir selalu berulang saat ibuku sakit lagi.
Ayahku mungkin tak pernah tahu kalau aku masih berumur delapan tahun, tapi pikiranku sudah seperti orang dewasa. Aku menjaga adik-adikku yang lahir beruntun, terbiasa mencuci celana penuh kotoran mereka, menggendong dan mengayunnya sampai mataku mengantuk, bahkan menyetrika baju ayahku. Ibuku, setiap kali beliau sakit, seharusnya hatiku juga sakit. Seharusnya aku menggugat hak kanak-kanakku. Tapi aku lama-kelamaan kebal dan seperti mati rasa. Aku menganggapnya sebagai hadiah istimewa dari Tuhan.

Ibu dan ayahku, bagaimanapun mereka saling mencintai, masa-masa sulit itu selalu saja muncul. Aku bersembunyi di balik bantal saat mereka bertengkar. Tapi sore itu menjadi tak terlupakan hingga kini. Ayahku pulang dengan membawa lelah dan pikiran kalut. Dan ibuku yang berhari-hari mengurus rumah, menghadapi keenam anaknya, kehilangan waktu untuk sekedar melihat-lihat baju baru atau membaca buku, juga tak kalah kalutnya. Sementara itu, uang yang ada di kantong ayahku mungkin hanya selembar lima ribu rupiah. Susu dot adikku yang kelima dan keenam diganti air gula.
Ibuku membuang semua frustasinya dengan penuh emosi. Ayahku, tak pernah kusaksikan ia semurka itu, dan semuanya kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ayahku mengangkat televisi layar biru kami, bersiap membantingnya ke lantai. Aku berlari dengan airmata terburai, menahannya dengan tangan kecilku. Ayahku tersadar lalu memelukkku. Kemudia ibuku menangis tersedu-sedu saat ayahku memeluknya.
Setelah itu aku tak mau jadi anak-anak lagi. Aku ingin mengakhiri mimpi burukku dengan menjadi dewasa secepat-cepatnya. Aku akan sukses dan membahagiakan kedua orangtua serta menjadi contoh yang baik bagi adik-adikku. Aku ingin anak-anakku memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku akan mengajarkan mereka untuk berani, tahan banting, dan mandiri.
Masa kecil mungkin tak akan pernah lepas dari kehidupan siapapun. Mimpi buruk itu membuatku bersumpah akan mengusirnya dengan melampaui batasku sendiri. Aku bisa melintasi waktu dengan caraku sendiri. Goodbye, my nightmare!

9 komentar:

athir mengatakan...

aamiin...

Dini Haiti Zulfany mengatakan...

*speechless dan takjub*

Tapi yang waktu kelas satu SD belum bisa menulis itu, sekarang sudah menulis buku. Yang mengejek belum tentu bisa :D

Aamiin untuk harapan2nya, Insya Allah may :)

iLLa mengatakan...

tiap orang sepertinya punya pengalaman masa kecil yg memalukan, menyakitkan, dan itu diingat terus sampai sekarang. mungkin kerna terjadi di masa ketika memory kita space-nya masih banyak ya, sampe kebawa terus sampe dewasa. ah...
i know for sure that you're more than a wonderwoman rite now, sist..
go a head! :)

xamthone plus mengatakan...

aminn...

outbound training di malang mengatakan...

kunjungan ..
salam sukses selalu ..:)

Bella Gemilang mengatakan...

inspiratif d(^^)b

Aksara mengatakan...

Like Ur post..

Techno Time! mengatakan...

Lam kenal dan silaturrahim ya mba...

spirulina pacifica mengatakan...

hanya ikut menyimak..salam kenal...