Kamis, 08 September 2011

Cat Emas (catatan seorang mahasiswi) Episode 1

Adakah semua kejayaan keilmuan di masa lampau bisa terulang?
Daripada menunggu waktu berputar ke belakang, yang kulakukan sekarang adalah terus berjalan ke masa depan. hari ini atau esok adalah penentu. Langkah-langkah kecil ini adalah penentu untuk langkah-langkah besar di suatu hari nanti.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk kampus. Semua mahasiswa baru maupun lama bersesak-padat di auditorium kampus pasca uin lantai 2. Tak ada AC, pun angin sepoi-sepoi. Jam delapan di jadwal, jadi jam sepuluh lewat di luar jadwal. Gerah, jenuh, kesal, dan aneka keluh-kesah membuat ruangan itu bertambah penuh.
Di sampingku seorang bapak, sudah tak lagi muda. Seharusnya, di usia itu ia lebih baik menikmati gajinya yang sekarang, menikmati hari-harinya menjadi seorang kakek dari seorang cucu tanpa harus pusing dengan pangkat atau golongan. Tapi, uang adalah cucu yang sebenarnya. Kenaikan gaji satu juta adalah segalanya. Kenaikan satu huruf golongan adalah segalanya.

Dan alangkah terkejutnya diriku melihat cermin diri yang dipantulkannya. Ia tak membawa buku, dan ia meminta selembar kertas kepadaku. Tulisan arabnya juga parah sekali. Sudah jelek, ejaannya pun tak karuan.  Padahal ia mahasiswa doktoral, kampus islam pula.
Seorang bapak-bapak berkumis lebat bangkit berdiri, bolak-balik depan ke belakang dengan gelisah. Ia bersungut-sungut. “Ini benar-benar boros waktu. Seharusnya seorang professor maju saja ke depan, mengisi kekosongan.” 
Mungkin bapak itu benar. tapi, mungkin juga tidak. Boros waktu? Siapa bilang? Lihatlah sekeliling, orang-orang punya topik sendiri. Setiap orang punya cara membunuh waktu.  Setiap orang menimati bonus waktu ini. Ada yang berkenalan, ada yang jadi tukang lawak ala Dono Kasino Indro, ada pula yang sibuk utak-atik fesbuk.
Dan di barisan kedua dari depan, tempatku duduk sekarang adalah barisan mayoritas perempuan. Di kampus mereka terlihat begitu muda layaknya mahasiswi single. Padahal di rumah, mereka adalah perempuan-perempuan yang frustasi dengan urusan anak-anak serta rumah tangga. Seperti jamaknya, perempuan bisanya hanya berceloteh tentang untung dan rugi. Mungkin karena kebiasaan jadi pengatur keuangan rumah tangga, lantas kebawa-bawa hingga kemana-mana. 
Kami menghitung-hitung jumlah beasiswa, menghitung-hitung seberapa untungnya, seberapa banyaknya lembar rupiah. Diantara kami mungkin ada yang membayangkan akan menghabiskan puluhan juta itu untuk membeli baju-baju mahal merek Syahrini, atau hape terbaru untuk sekedar ikut arus tren di kampus pasca (masa' mahasiswa pasca masih hape butut, haha), atau mungkin menabungnya buat bekal sekolah anak-anak nanti. 
Konon setoran pertama 13 juta. Setoran kedua 18 juta. Pikiranku melambung, mendadak jadi orang kaya. Mau beli apa saja bisa. Aku mau beli motor, jadi tak perlu capek-capek jalan atau naik bentor ke kampus. Ah, lebih baik sepeda saja, kan lebih sehat dan lagi nge-pop sekarang. Aku juga mau beli ponsel, kalau perlu i phone 4 G, satu untukku dan satu buat si Baba. Aku rencana mau beli laptop, satu laptop tak cukup lagi buat berdua. Dan ah, sebentar lagi oktober, ultahnya si Baba, aku ingin sekali membelikannya jam tangan bermerek yang water resistant.
Tapi semua itu hanya pikiran sebelah kiriku, sedangkan di sebelah kanan, ada Raqib yang tak henti-henti meng-interupsi. Aku mau kuliah, bukan berfoya-foya. Bukankah aku mau bikin buku indie lagi, tentunya butuh biaya. Bukankah aku juga mau ikut kursus bahasa inggris, pastinya pakai duit. Dan buku-buku untuk mengenyangkan lapar intelektualku, tentu saja. Dan mungkin tahun depan aku bisa saja hamil lagi haha. 
Dan akhirnya semua pikiranku itu mengendap hingga basi. Sepulang dari kampus, aku pun membuangnya ke tong sampah dengan rasa jijik.

Tidak ada komentar: