Kamis, 15 Oktober 2009

ANAK-ANAK PULAU

Cerpen ini adalah salah satu pemenang LMC Wihdah Oktober 2009


Debur ombak masih sama seperti sepuluh tahun lalu, ketika tanganku masih terlalu kecil untuk membentuk garis memanjang di atas pasir pantai. Sapaan angin yang dikirim lewat tarian kemayu pohon Nyiur, diiringi gelak tawa beberapa anak-anak nelayan di kejauhan juga masih seperti dulu. Mercusuar di atas bukit masih tegak berdiri, menyambut dengan cahayanya yang berputar-putar seperti bayangan baling-baling helikopter. Sampan-sampan kecil tanpa cat yang tak berubah kecuali pemiliknya, jika dulu Ayahnya, mungkin sekarang nelayan-nelayan itu adalah anak atau saudaranya. Garis nasib yang tak begitu jauh berbeda dari generasi ke generasi. Termasuk aku…

"Rantau…ayo balik, air sudah pasang!" Teriak Emak yang berdiri di dekat sebuah kapal kayu besar yang hampir selesai dirakit. Hari ini, hari Jum'at, seperti biasa aku tak melaut. Untunglah, hasil tangkapan ikan kemarin sudah cukup untuk makan hari ini.

"Basri kemana, Mak?" tanyaku sambil membantu Emak membawa jala yang sudah dibersihkannya.

"Biasalah, Rantau, adikmu yang satu itu tak mau ketinggalan sinetronnya Mak Lampir." Aku tergelak dalam hati membayangkan Basri dan teman-teman sebayanya yang lain memelototi layar televisi paling besar di pulau ini. Televisi duapuluh inchi yang hanya dimiliki Pak Haji Romli, juragan kapal itu.

Di pulau Massalembu ini, bertahun-tahun sudah kami tak merasakan yang namanya listrik. Hanya sebuah mesin diesel yang diisi solar dengan suranya yang meraung-raung, bertanding dengan suara tawa Mak Lampir. Saat bahan bakarnya habis, anak-anak akan berteriak penuh kesal karena televisi mati tepat di saat adegan sedang seru-serunya. Jika pagi hari tiba, aku dan Basri saling menertawai karena mendapati wajah hitam akibat asap dari pelita yang dipakai di malam hari. Lampu gas satu-satunya hanya dipakai Emak ketika ada tamu di rumah.


Bunyi derak bambu terdengar ketika aku dan Emak menaiki tangga rumah panggung kami. Bambu boleh dikata nyawa kedua kami setelah laut. Tangga rumah, perabot dapur, kursi, rumah tambak, bubu' dan perkakas lainnya semuanya hasil rakitan bambu. Di bawah bukit, tempat mercusuar itu berdiri, terdapat hutan bambu yang terkenal dengan nama Hutan Dermawan. Nama itu muncul bukan karena tanah itu milik Pak Dermawan, karena di pulau ini tak ada orang yang punya nama sebagus itu, tapi karena bambu-bambu disitu tak bertuan, siapapun boleh mengambilnya secara gratis.

"Mak…" panggilku setelah kulihat Emak selesai mencuci piring.

"Ada apa, Rantau? Kenapa keningmu berkerut begitu, kamu seperti sedang memikirkan soal sulit dari sekolah?"

"Bukan, Mak…" Jawabku. Aku menghela nafas menunggu Emak memperbaiki posisinya yang berbaring di atas pahaku. Aku memainkan rambut Emak yang memutih dan seperti kesukaannya, aku memijit-mijit kepalanya yang beraroma minyak kelapa bercampur wangi jeruk nipis.

"Rantau ingin ke Malaysia, Mak!" Tanganku berhenti beraktivitas saat kulihat air muka Emak terkejut mendengar ucapanku barusan.

"Tak salah kau bicara, Rantau? Buat apa kau ke Malaysia, disana kau hanya menjadi anak terlantar! Kau lihat Si Enong itu, badannya hampir hancur baru pulang, itupun dia sudah setengah waras setengah gila!" Aku terdiam membenarkan cerita itu. Di pulau ini, tak terbilang sudah berapa orang yang berduyung-duyung meninggalkan pulau menuju ke negeri Jiran. Diantara mereka ada yang pulang dengan ringgit-ringgit bergemerincing lalu kemudian membangun rumah batu besar. Adapula yang tak pulang hingga beranak-cucu, hanya mengirim uang untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebagian mereka berubah sejahtera, namun tak sedikit yang harus berakhir seperti Enong.

"Mak, saya kan beda, saya bisa membaca dan berhitung, tentunya saya bisa dapat pekerjaan lebih baik dan uang banyak."

"Sama saja, Rantau. Kalaupun kamu berhasil, Mak yakin kamu tak akan kembali lagi…" Ujar Emak bergetar. Ada keperihan yang aku tangkap dari matanya. Ada kepingan masa lalu yang berkelebat mendadak, membuncah bersama hela nafas yang berat.

"Aku akan mencari Bapak…"

"Jangan kau sebut-sebut lagi orang itu!!! Sejak dua tahun yang lalu, kamu dan Basri sudah yatim, Nak, ingat itu!" tukas Emak yang bangkit berdiri dengan matanya yang penuh amarah. Aku menggigit bibir, menyesal dengan ucapanku tadi, tak kusangka Emak akan semarah itu. Angin menembus selusur jendela, membuat cahaya pelita bergoyang-goyang. Aku belum sempat berucap apa-apa ketika Emak menghilang dari hadapanku.

Aku termenung, bermain dengan pikiranku sendiri. Dulu, cerita tentang namaku selalu kudengar hampir setiap malam. Sambil memainkan rambut Emak yang panjang, cerita itu akan keluar dari mulut Emak.

"Kenapa namaku Rantau, Mak?" tanyaku waktu itu. Aku masih belum bisa melap ingusku dengan bersih waktu itu, sedangkan adikku Basri masih merah.
Rantau adalah nama pemberian Bapak dengan harapan aku dapat merantau keluar pulau kecil ini untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Tak terhitung sudah berapa generasi keturunan Emak dan Bapak yang sudah menjadi bagian dari sejarah pulau ini. Tak heran, jika Bapak menginginkan sebuah perubahan. Itu dimulai tatkala Bapak berkenalan dengan orang-orang asing berjas hitam dengan sepatu mengkilap. Mereka adalah pengusaha berhati tamak yang ingin mengeksploitasi kekayaan pulau yang konon memiliki sumber minyak bumi. Mereka datang dengan helikopter yang getarannya membuat padang rumput di bukit kami terpaksa layu. Mereka memberi para nelayan benda bulat aneh yang bisa meledak, namun ikan-ikan akan tertangkap dengan cepat. Karang-karang dan terumbu laut kami yang dulu indah kini nyaris hilang.

Ketika Pak Haji Romli pulang dari Malaysia, mendadak orang-orang itu pergi setelah orang-orang sepulau jengah dan mengusir mereka. Ya, orang-orang berkelas itu memang pergi, tapi jejaknya masih ada. Orang-orang mendadak sadar bahwa ada kehidupan lain di luar pulau. Mereka ingin memakai jas dan sepatu mengkilap serta paham bahasa Inggris seperti Haji Romli dan orang-orang berkelas itu.

Susah-payah Bapak memaksaku masuk sekolah miskin di pulau ini. Aku tak tahu alasannya, kenapa Bapak tiba-tiba ikut rombongan perantau ke Malaysia, dua hari setelah Basri lahir. Yang aku tahu, malam sebelum Bapak berangkat, Emak menangis tersedu-sedu sambil menyusui Basri.
S
epuluh tahun berlalu dan usiaku telah genap tujuh belas tahun, Bapak pun tak terdengar beritanya. Emak yang putus-asa menunggu, penuh emosi menghapus nama Bapak sejak dua tahun lalu. Wajah seorang Ayah lambat-laun hilang dari memori kanak-kanakku. Aku terpaksa mengikuti garis takdir, menjadi anak pulau yang bermata-pencaharian sebagai nelayan. Aku, Basri, dan puluhan anak pulau lainnya yang terkadang bermimpi tentang negeri kaya di seberang sana, namun terpaksa harus kami kubur dalam-dalam.

"Rantauuuuu!!!" suara Wak Siah mengejutkanku setengah mati. Kulihat suluh yang dibawanya berkelap-kelip dari jauh. Aku menuruni tangga dengan terburu-buru, menyambut Wak Siah, tetangga rumahku.

"Jalil ada di rumahmukah? Tadi dia pamit pergi bersama Basri." Tanya Wak Siah cemas. Aku menggeleng heran, bukannya Basri pergi ke rumah haji Romli?

"Wak sudah tengok ke rumah Pak Haji?"

"Tak ada, Rantau! Pak Haji pergi menyeberang ke selatan, rumahnya kosong!"

"Hah?!" Aku terkejut dengan degup jantung hampir berhenti. Kalau begitu Basri kemana?

"Ayo, Wak, kita cari sama-sama!" Ajakku setelah mengambil suluh. Di belakang pasar, tepatnya di pinggir pantai sebelah timur, kami bertemu dengan Pak Komar. Dia juga mencari keponakannya yang tak pulang-pulang. Perasaanku bertambah kacau. Firasat buruk mulai menghantui pikiranku. Gerimis mulai turun pelan-pelan. Bunyi deru ombak menghantam karang membuat malam itu semakin menggelisahkan kami bertiga.

"Apa mungkin di pelabuhan ada pertunjukan sulap, Pak Komar?" Tanyaku.

"Tak mungkinlah, Nak, cuaca sedang tidak bagus. Saya sudah kesana, tapi tak ada salahnya kita ke pelabuhan sekali lagi," ajak Pak Komar dengan peluh bercampur basah rintik hujan. Suluh kami padam. Untungnya Pak Komar punya senter.

"Basriiii!!!"

"Jaliiilll!!!"

"Ipuuuunn!"

"Oiii...kalian dimana???" Kami berteriak bersahut-sahutan menyisir pelabuhan. Badanku mulai menggigil kedinginan. Wajah Emak yang menungguku terbayang di benakku.

"Kalian mencari Jalil?" tanya seorang pemilik kapal dari pulau seberang yang muncuk dari dek kapalnya karena mendengar teriakan kami. Kami mengangguk bersamaan berharap ada harapan yang memuaskan dari orang itu. Namun kami tak menyangka, jawaban yang keluar dari mulut orang itu justru bagai suara guntur di telinga kami.

"Kalian tidak tahu? Tadi pagi ada broker keturunan Arab yang datang ke pulau, dia mencari anak-anak untuk dipekerjakan di Malaysia. Sehabis magrib tadi saya lihat Jalil dan beberapa anak lainnya ikut serta ke kapal broker itu…"

Sendi lututku lepas bersama tubuhku yang tersungkur ke tanah. Wak Siah pingsan di kerumunan orang-orang pelabuhan. Wajah polos Basri memenuhi kekalutanku, Basri yang begitu terbius jika mendengar cerita tentang Bapak. Bayangan Emak muncul di mataku menggantikan wajah Basri, Emak yang sabar dan berharap anak-anaknya tak ada yang mengikuti jejak ayahnya! Apa yang nantinya harus kukatakan pada Emak sepulangku nanti? Badanku menggigil keras. Aku tergugu menatap bumi, hujan pun turun semakin deras, sederas tangisanku.
* * *







17 komentar:

Anak Sungai mengatakan...

ceritanya sangat mbumi sobt,,, benr2 terasa suasana ank2 pulau,,,,

Cerita Hari Febri mengatakan...

cerita yang menarik

Cerita Hari Febri mengatakan...

Ada info menarik, bagi yang menginginkan search engine yang halal bebas hal-hal yang haram dan pornografi serta sangat dianjurkan untuk anak-anak kunjungi postingan saya HALALKAH SEARCH ENGINE ANDA

deden mengatakan...

waaah cerpennya bagus mbak ...

Unknown mengatakan...

arigato gozaimassu...

djang aloel mengatakan...

wah keren ^_

ajarin buat cerpen dong, teh :)

syahrul mengatakan...

wah keren ^_
ajarin bikin cerpen dong, teh :)

@uS mengatakan...

wei, pernah ki tinggal di pulau..? pulau mana mi itu..?

Unknown mengatakan...

Mau soal-soal tes cpns 2009.....ada disini gratis
www.s1pgsd.blogspot.com

Ocim mengatakan...

ceritanya benar-benar menarik untuk ditelaah lagis

Unknown mengatakan...

ass..wr.wb
bagus postingnya sungguh membuat hatiku salut..good luck ya...
wass..wr.wb

Admin mengatakan...

ceritanya bagus sob , thank udah berbagi

Unknown mengatakan...

sama2 ^^

nuranuraniku.blogspot.com mengatakan...

salam sobat
bagus kisahnya,,
jadi ingat pulau2 di INDONESIA,,ya,,
kalau di CAIRO,,kangen ngga nich..?

trims kunjungannya
salam kenal juga
saya sudah follow nich ya,,

aqila mengatakan...

nice share sobat!

KakuLidah mengatakan...

great.. itu baru cerpen.. terus berkarya

KakuLidah mengatakan...

great, bagus banget, panteslah dapat award