Kamis, 27 Agustus 2009

BUKAN ILALANG

Debu-debu gurun berganti tanah yang nyaris becek. Udara musim panas negeri Musa berubah menjadi hawa gerah bandara Jakarta meski sehabis hujan. Manusia berjubah hilang tersapu wajah-wajah borjuis, perlente, dan sebagian lagi masih tetap ramah. Duhai zamrud hijau yang kini tak berkilau, ucapkan selamat datang untukku!

Dua jam kemudian, langit keruh berganti biru dan putih. Kuhirup udara dalam-dalam, masih kampung yang sama saat kutinggalkan. Masih jalan kecil yang penuh kotoran hewan dan bukit-bukit hijau di kejauhan. Tak ada yang berubah setelah empat tahun. Hanya beberapa sawah berubah empang. Sapa matahari tetap ramah seperti wajah Bapak dan Ibu yang menyambutku di depan rumah. Aku tunduk mencium tangan keduanya dengan mataku yang mulai basah. Kerinduan yang kusimpan bertahun-tahun raiblah sudah.

“Kamu tambah cantik, Nak,” komentar Ibu pertama kali. Kulihat Bapak juga mengangguk membuatku tersipu tanpa kata. Benar kata orang, di depan orangtua kita terkadang masih seperti anak berusia lima tahun.

“Aku bawa kurma buat Bapak.” Wajah Bapak nampak sumringah. Sejak Bapak naik haji, kurma adalah salah satu makanan favorit yang selalu dirindukannya.

“Kamu sudah pulang saja sudah membuat kami senang,” sahut Bapak membuatku terharu. Aku beranjak ke dalam kamar dan membereskan koper-koperku setelah puas bercerita dengan mereka. Aku memandang sekeliling, letak barang di kamarku bahkan tak berubah. Kuraba meja kecil di sudut kamar, tak ada debu. Pastilah Ibu setiap hari merawat kamar ini. Kurebahkan badanku yang penat di atas ranjang. Kupejamkan mata lalu tak lama aku tertidur.
* * *
Jika kau adalah wanita, maka laksana bunga kamu akan tetap tertancap dalam tanah tanpa harus terbang mencari para penghisap madu. Kamu hanya akan menunggu dan menunggu hingga wangimu tercium oleh seekor kumbang. Namun tak selamanya kumbang pertama yang hinggap di pucuk bunga akan tertarik menghisap manismu. Dan wanita….diciptakan untuk lebih banyak bersabar dan tegar.

Mataku menerawang, menerobos padang rumput di samping rumah. Dadaku masih saja bergemuruh seperti tadi malam. Tak kusangka, berapa banyak mahasiswa Kairo yang kukenal, tak satupun yang kelak menjadi pangeranku. Pangeran yang kunantikan ternyata seorang putra pemangku adat di kampungku yang katanya sarjana pertanian terbaik di angkatannya.

Ah, Citra, betapa sayangnya kalau kamu hanya akan menjadi istri seorang sarjana pertanian setelah empat tahun di luar negeri. Mungkin begitu komentar teman-temanku kalau berita pernikahanku menyebar seantero Mesir. Belum lagi idealisme yang selama ini kugembor-gemborkan selama jadi aktifis. Seorang aktifis hanya akan menikah dengan seorang aktifis pula! Dan di hadapan kedua orang yang selama ini memeras darah dan keringat untukku, idealisme itu terpaksa kukubur hidup-hidup. Memang kedengarannya tragis, tapi aku tak sanggup melawan wajah-wajah yang penuh harapan itu. Lidahku kelu jika harus berhadapan dengan dua sosok yang ridha mereka menjadi ridha Allah juga. Ini bukan debat atau rapat panitia yang biasanya aku akan menjadi vokal disana. Ini masalah hidup dan masa depan.

“Orangnya baik dan rajin ke mesjid. Dia akan menjadi suami yang cocok untukmu.”

“Selama ini Datuk sudah banyak berjasa, sawah Bapakmu itu juga pemberian beliau, Nak.”

“Tapi semua terserah kamu, mungkin kamu punya lelaki pilihan lain yang lebih baik.” Yah, itulah masalahnya, aku tak punya calon pilihan sendiri. Selama di Kairo aku terlalu asyik dengan kesibukanku di organisasi. Belum lagi konsentrasi akademisku demi mempertahankan gelar ‘the best” yang setiap tahun kuraih.

“Citra percaya dengan pilihan Bapak dan Ibu. Tapi…” kalimatku terputus. Aku menelan ludah pahit. Kucoba menatap wajah keduanya dengan sisa-sisa ketegaran yang kupunya. Setidaknya aku tak sekedar menerima barang jadi, pikirku.

“Tapi apa, Citra?” tanya ibu membuatku semakin gugup.

“Citra ada dua syarat.” Aku mengatur nafas sebelum melanjutkan kalimatku. Kulihat Bapak dan Ibu saling berpandangan. “Pertama, Citra tidak mau melihat wajah calon pendamping Citra sampai waktu akad. Kedua, Citra tidak mau berpakaian adat tanpa jilbab.” Aku menarik nafas lega. Akhirnya aku bisa mengutarakannya juga.

“Kalau kami tak ada masalah, Nak. Masalah ini akan kami rundingkan dengan Datuk Jarre,” kata Bapak menutup pembicaraan.

Angin pegunungan membelai ujung welua’ku yang panjang, membuatku tersadar kembali. Apalah jadinya kalau rambut indah yang selama ini kututup rapi menjadi tontonan orang banyak? Bagaimanapun aku seorang sarjana Syariah, dari Azhar pula! Aku boleh tunduk bersami’na wa atha’na di hadapan orangtua, tapi agama tak boleh jadi korban adat. Selama ini, betapa banyak teman-teman yang mengeluh ketika harus berhadapan melawan adat di kampung masing-masing. Tak sedikit dari mereka yang harus kalah dan menyerah. Memang mudah berteori, tapi tingkat keberhasilan dalam praktik mungkin 1:10. Di dunia para akademisi, kita akan mudah mendapatkan teman untuk berjuang dengan ide yang sama. Tetapi disini, di tengah penduduk yang kolot, kamu akan berjuang sendiri!

Azan Ashar memecah percakapan batinku. Ibu dan Bapak belum pulang dari rumah Datuk. Entah apa hasil keputusan mereka, pastinya aku hanya mampu berdoa semoga semuanya berjalan lancar.
* * *
“Citra tidak mau!” Akhirnya kesabaranku habis juga. Terkadang wanita harus berbicara dengan emosi agar semuanya bisa mengerti. Tapi mengapa hati ini begitu sakit? Aku sudah menuruti segala permintaan mereka, seperti anak kambing yang patuh pada gembalanya. Namun keinginanku yang sederhana ditolak mentah-mentah hanya karena alasan “ini sudah tradisi”!

“Tenanglah, Nak, bagaimanapun Bapak sudah mencoba memberi pengertian ke Datuk sesopan mungkin. Syaratmu yang pertama mereka dapat kabulkan, tapi masalah pakaian adat itu…” Kupandangi wajah Bapak yang membiaskan garis kecewa. Aku menggeleng, mataku perlahan mulai basah karena emosi yang memuncak. Ibu memegang tanganku erat, mencoba menenangkanku.

“Mereka bilang kalau ini bukan masalah selama teman-temanmu tak ada yang melihat. Teman-temanmu hanya diundang di acara resepsi…”

“Citra berjilbab bukan karena mau dilihat orang, Pak. Bapak dan Ibu bilang kalau mereka keluarga yang rajin shalat. Anaknya bahkan seorang sarjana. Lalu semuanya dikemanakan? Sudah jelas-jelas dalam Al-qur’an perintah berjilbab yang mungkin berapa kali mereka dengar dan baca setiap saat. Pokoknya Citra tidak mau menikah kalau syarat kedua tidak dipenuhi!”

“Citra!” Suara Bapak menggelegar menembus jantungku. Baru kali ini Bapak bersuara setinggi itu. Di matanya aku menangkap kemarahan. Mungkin Bapak akan bilang kalau aku anak durhaka, anak matojo, dan segala gelar yang mengalahkan gelar Lc yang kudapatkan susah-payah. Masa bodoh dengan semuanya. Bukankah aku sudah begitu toleran dengan bersenang hati memakai pakaian adat itu kelak? Aku hanya meminta tambahan jilbab di kepala, hanya itu!

“Keputusan sudah harga mati, Citra. Jangan sampai perasaan kami terluka oleh nama keluarga yang tercemar. Camkan itu!” Bapak bangkit meninggalkanku yang lebih terluka. Ibu memelukku bersama tangisnya.

“Maafkan Ibu, Nak..” Aku mengangguk pasrah. Kuhapus perlahan airmata wanita yang membesarkanku dengan penuh cinta itu. Wanita yang begitu taat pada suaminya sampai harus mengorbankan kecintaannya terhadap putri tunggalnya ini. Seorang putri tunggal yang juga sama tak berdayanya. Aku tergugu dan segalanya terasa gelap. Aku pasrah dan seluruh idealisme yang kupertahankan telah kalah.
* * *
Dan hari itu telah tiba. Seperti boneka, aku duduk di hadapan cermin dengan wajah berpoles lapisan bedak. Seandainya airmataku masih tersisa, aku ingin menangis selamanya karena dengan itu mataku tak dapat melihat rupaku sekarang. Kepalaku yang setegak tanduk iblis dengan besi-besi emas yang mengeraskan leher menambah lukaku semakin perih. Telingaku yang dibebani anting-anting seberat karung dan alisku yang habis, membuat seakan-akan kesucianku tergadai sudah. Ini bukan lagi pesta indah buat Cinderella yang malang, ini adalah upacara kematian harga diri seorang wanita, jeritku dalam hati.

“Nak, bersiaplah keluar, mempelai pria telah tiba.” Ucap Mak Inang, saudari Ibuku yang juga menjadi periasku. Aku berdiri, berjalan dengan kaki dingin dan kaku. Hatiku gemetar dan sebentar lagi mungkin akan mati. Kilauan wala soji menjadi saksi ketidakberdayaanku. Aku tak berani mengangkat muka. Tamatlah sudah. Ingin rasanya menghilang dari dunia ini sekarang. Telingaku tak lagi mendengar kata-kata pujian. Di sekelilingku, aku hanya menangkap hiruk-pikuk tepuk tangan iblis.

Kosakata bahasa Bugis:
Matojo: keras kepala, pembangkang
Wala soji: kursi pelaminan
Welua’ : rambut

Catatan: Pemenang pertama Lomba Cerpen Pekan Keputrian Wihdah_PPMI Mesir 2008

1 komentar:

KakuLidah mengatakan...

Kak Mayya, ijin bc cerpen2nya ya, sy pengen bisa nulis cerpen tp waktu nyoba nulis jadi kacau fiuhh..

Suka bagian ini nih: Di dunia para akademisi, kita akan mudah mendapatkan teman untuk berjuang dengan ide yang sama. Tetapi disini, di tengah penduduk yang kolot, kamu akan berjuang sendiri!

Menyentuh banget ceritanya, thumb up!