Pasca
Muktamar DDI, tampaknya tema ‘Anti MK’ masih menempel kuat dalam beberapa
wacana yang dilontarkan oleh para kader di sebuah grup komunitas DDI. Bagi
mereka yang masih susah untuk ‘move on’
dari mazhab Anti MK ini, maka tidaklah heran jika penolakan terhadap Pak
Kaswad sebagai Sekjen terus mengalir hingga kini. Ini sebuah hal yang logis,
karena menurut sebagian besar kader DDI (terutama mereka yang mengawal
perjuangan penyatuan DDI), tubuh DDI pasca muktamar haruslah steril dari mantan
penguasa orde lama beserta jajarannya agar organisasi bisa kembali ke mabda’
DDI. Ibaratnya, menyapu lantai yang kotor haruslah dengan sapu yang benar-benar
bersih.
Penolakan
terhadap seluruh ‘kubu MK’ ini bukan sesuatu yang seharusnya disalahkan. Bukan
tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Sejarah panjang perpecahan DDI
dan setumpuk konflik di dalamnya telah menggoreskan luka dan trauma masa lalu
bagi semua kadernya. Tidak sedikit airmata, keringat bahkan materi yang dicucurkan
oleh para kader untuk mengurai benang kusut dalam tubuh DDI. Bahkan hingga
perjuangan tersebut membuahkan hasil, trauma masa lalu akan sulit untuk
disembuhkan dari benak dan pikiran para kader.
Namun,
arus penolakan ini bukan tidak menemui tantangan. Pertama, tidak sedikit kader
DDI yang memilih untuk mendukung hasil musyawarah Tim Formatur, atau dengan
kata lain, tidak menolak opsi Kaswad sebagai Sekjen. Kedua, belum ada
konfirmasi resmi dari Dr. Rusydi Ambo Dalle atau wakil dari tim formatur untuk
menanggapi isu hangat yang bekaitan dengan dipilihnya Kaswad sebagai Sekjen.
Menurut penulis, hal tersebut bisa menunjukkan bahwa ide pencalonan Kaswad
masih belum fix atau bisa jadi karena tim formatur baru akan memberikan
konfirmasi resmi setelah musyawarah betul-betul final agar tidak menimbulkan
polemik baru.
Selanjutnya,
penulis ingin menganalisa lebih jauh tentang pertimbangan sebagian kader DDI
yang tidak menunjukkan penolakan terhadap Kaswad. Tidak menolak Kaswad sebagai
Sekjen sebenarnya bukan berarti mereka ‘Pro MK atau pro Kaswad atau Pro Orde
Lama’. Penulis melihat, bahwa sikap tersebut lebih cenderung sebagai bentuk
kepercayaan terhadap pemimpin baru DDI (Dr. Rusydi) sehingga apapun bentuk
keputusan yang akan diambil oleh beliau, mereka akan siap mendukung.
Sejak
para kader memperjuangkan Sang Purnama hingga terjadinya aklamasi di muktamar,
menunjukkan bahwa Dr. Rusydi memang layak dan pantas untuk menjadi pemimpin
organisasi. Jika Dr. Rusydi selama ini selalu menerima ide dan dukungan dari
para kader sehingga beliau rela ‘kembali’ untuk mengembalikan kejayaan DDI,
maka kenapa kita tidak bisa menerima keputusan Dr. Rusydi dalam hasil
musyawarah formatur? Andai pun kita tidak mempercayai oknum-oknum MK, bukankah
Dr. Rusydi tidak akan melempar tanggungjawabnya sebagai pemimpin meski salah
satu atau sebagian oknum tersebut dimasukkan ke dalam barisan pengurus?
Perlu diketahui, jika kita sekilas melihat ke
belakang, beberapa problema DDI warisan orde lama masih menumpuk dan menjadi PR
pengurus DDI baru. Sisi positif yang mungkin menjadi pertimbangan Dr. Rusydi
adalah PB DDI baru butuh jembatan dalam masa transisi ini (Penulis menyebutnya
transisi, karena DDI yang baru belum sepenuhnya mengendalikan seluruh aset dan
inventaris DDI). Jika Kaswad sebagai sekjen, maka diharapkan persoalan ‘jarak’
ini bisa diselesaikan. Sebagai salah satu oknum MK, Kaswad akan mempunyai beban
moral yang besar untuk menyelesaikan pembenahan inventaris dan aset yang
bermasalah. Dan di sinilah seharusnya para kader turun tangan untuk melakukan
pengawasan atas kinerja sekjen baru.
Pertimbangan
kedua, berdasarkan analisa pribadi penulis, DDI baru tidak akan sepenuhnya
berhasil mengembalikan kejayaan DDI jika pemimpinnya tidak merangkul dua atau
semua kubu. Dalam sebuah organisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa seburuk
apapun pengurus domisioner, tetapi mereka pasti punya peran yang melekat kuat
dalam sebuah organisasi. Apalagi, secara faktual, kubu MK dan jajarannya
memimpin dalam waktu yang tidak sebentar. Penulis kira, hukuman yang paling
bijak bagi mereka adalah tidak membiarkan mereka berlepas tangan begitu saja.
Carut-marut organisasi ini tidak akan selesai jika hanya kubu ‘Anti MK’ yang
bergerak, tetapi kedua kubu harus sama-sama berlapang dada untuk mendukung
kepemimpinan DDI di bawah nakhoda Dr. Rusydi. Dan jika oknum MK harus menjadi
pengurus, bukankah menjadi sekjen adalah posisi yang tepat karena lebih mudah
diawasi langsung oleh Ketua Umum dan Wakilnya?
Pada
akhirnya, semua selalu kembali kepada sikap dan keterbukaan pikiran para kader.
Sebuah organisasi akan berhasil bukan hanya karena pemimpinnya yang baik,
tetapi juga karena adanya saling percaya antara pemimpin dengan rakyatnya. Jika
kepercayaan itu sudah tidak lagi ditunggangi oleh ‘trauma masa lalu’, maka DDI
sebagai organisasi dakwah terbesar di nusantara bukan lagi menjadi fatamorgana
belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar