Kamis, 01 Januari 2015

Kaswad Jadi Sekjen DDI: Sebuah Dilema?

Pasca Muktamar DDI, tampaknya tema ‘Anti MK’ masih menempel kuat dalam beberapa wacana yang dilontarkan oleh para kader di sebuah grup komunitas DDI. Bagi mereka yang masih susah untuk ‘move on’  dari mazhab Anti MK ini, maka tidaklah heran jika penolakan terhadap Pak Kaswad sebagai Sekjen terus mengalir hingga kini. Ini sebuah hal yang logis, karena menurut sebagian besar kader DDI (terutama mereka yang mengawal perjuangan penyatuan DDI), tubuh DDI pasca muktamar haruslah steril dari mantan penguasa orde lama beserta jajarannya agar organisasi bisa kembali ke mabda’ DDI. Ibaratnya, menyapu lantai yang kotor haruslah dengan sapu yang benar-benar bersih.
Penolakan terhadap seluruh ‘kubu MK’ ini bukan sesuatu yang seharusnya disalahkan. Bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Sejarah panjang perpecahan DDI dan setumpuk konflik di dalamnya telah menggoreskan luka dan trauma masa lalu bagi semua kadernya. Tidak sedikit airmata, keringat bahkan materi yang dicucurkan oleh para kader untuk mengurai benang kusut dalam tubuh DDI. Bahkan hingga perjuangan tersebut membuahkan hasil, trauma masa lalu akan sulit untuk disembuhkan dari benak dan pikiran para kader.
Namun, arus penolakan ini bukan tidak menemui tantangan. Pertama, tidak sedikit kader DDI yang memilih untuk mendukung hasil musyawarah Tim Formatur, atau dengan kata lain, tidak menolak opsi Kaswad sebagai Sekjen. Kedua, belum ada konfirmasi resmi dari Dr. Rusydi Ambo Dalle atau wakil dari tim formatur untuk menanggapi isu hangat yang bekaitan dengan dipilihnya Kaswad sebagai Sekjen. Menurut penulis, hal tersebut bisa menunjukkan bahwa ide pencalonan Kaswad masih belum fix atau bisa jadi karena tim formatur baru akan memberikan konfirmasi resmi setelah musyawarah betul-betul final agar tidak menimbulkan polemik baru.

Selanjutnya, penulis ingin menganalisa lebih jauh tentang pertimbangan sebagian kader DDI yang tidak menunjukkan penolakan terhadap Kaswad. Tidak menolak Kaswad sebagai Sekjen sebenarnya bukan berarti mereka ‘Pro MK atau pro Kaswad atau Pro Orde Lama’. Penulis melihat, bahwa sikap tersebut lebih cenderung sebagai bentuk kepercayaan terhadap pemimpin baru DDI (Dr. Rusydi) sehingga apapun bentuk keputusan yang akan diambil oleh beliau, mereka akan siap mendukung.
Sejak para kader memperjuangkan Sang Purnama hingga terjadinya aklamasi di muktamar, menunjukkan bahwa Dr. Rusydi memang layak dan pantas untuk menjadi pemimpin organisasi. Jika Dr. Rusydi selama ini selalu menerima ide dan dukungan dari para kader sehingga beliau rela ‘kembali’ untuk mengembalikan kejayaan DDI, maka kenapa kita tidak bisa menerima keputusan Dr. Rusydi dalam hasil musyawarah formatur? Andai pun kita tidak mempercayai oknum-oknum MK, bukankah Dr. Rusydi tidak akan melempar tanggungjawabnya sebagai pemimpin meski salah satu atau sebagian oknum tersebut dimasukkan ke dalam barisan pengurus?
 Perlu diketahui, jika kita sekilas melihat ke belakang, beberapa problema DDI warisan orde lama masih menumpuk dan menjadi PR pengurus DDI baru. Sisi positif yang mungkin menjadi pertimbangan Dr. Rusydi adalah PB DDI baru butuh jembatan dalam masa transisi ini (Penulis menyebutnya transisi, karena DDI yang baru belum sepenuhnya mengendalikan seluruh aset dan inventaris DDI). Jika Kaswad sebagai sekjen, maka diharapkan persoalan ‘jarak’ ini bisa diselesaikan. Sebagai salah satu oknum MK, Kaswad akan mempunyai beban moral yang besar untuk menyelesaikan pembenahan inventaris dan aset yang bermasalah. Dan di sinilah seharusnya para kader turun tangan untuk melakukan pengawasan atas kinerja sekjen baru.
Pertimbangan kedua, berdasarkan analisa pribadi penulis, DDI baru tidak akan sepenuhnya berhasil mengembalikan kejayaan DDI jika pemimpinnya tidak merangkul dua atau semua kubu. Dalam sebuah organisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa seburuk apapun pengurus domisioner, tetapi mereka pasti punya peran yang melekat kuat dalam sebuah organisasi. Apalagi, secara faktual, kubu MK dan jajarannya memimpin dalam waktu yang tidak sebentar. Penulis kira, hukuman yang paling bijak bagi mereka adalah tidak membiarkan mereka berlepas tangan begitu saja. Carut-marut organisasi ini tidak akan selesai jika hanya kubu ‘Anti MK’ yang bergerak, tetapi kedua kubu harus sama-sama berlapang dada untuk mendukung kepemimpinan DDI di bawah nakhoda Dr. Rusydi. Dan jika oknum MK harus menjadi pengurus, bukankah menjadi sekjen adalah posisi yang tepat karena lebih mudah diawasi langsung oleh Ketua Umum dan Wakilnya?
Pada akhirnya, semua selalu kembali kepada sikap dan keterbukaan pikiran para kader. Sebuah organisasi akan berhasil bukan hanya karena pemimpinnya yang baik, tetapi juga karena adanya saling percaya antara pemimpin dengan rakyatnya. Jika kepercayaan itu sudah tidak lagi ditunggangi oleh ‘trauma masa lalu’, maka DDI sebagai organisasi dakwah terbesar di nusantara bukan lagi menjadi fatamorgana belaka.




Tidak ada komentar: