Minggu, 15 Juni 2014

Tempat Tertinggi


        Suara bola yang disepak kesana-kemari bercampur riuh para santri meramaikan suasana sore itu. Sesekali terdengar deru motor dan mobil yang melintasi jalanan beraspal kasar. Dan kicau burung-burung kecil yang memungut sisa-sisa hujan di sepanjang dahan pohon jati. Kubuka jendela sesaat setelah hujan berhenti. Setelah sebelumnya aku menulis puisi:
Pukul 16:50 hujan benar-benar berhenti
jalan dan dedaunan telah basah sempurna
cahaya senja muncul perlahan berusaha menghapus
jejak-jejak basah
tapi aku tahu ia takkan mampu
karena awan masih bersatu menghalaunya
Di rumah yang aku tempati sekarang merupakan rumah pertama yang akan kau lihat saat mengunjungi bukit ini. Juga rumah terakhir jika kau melalui arah jalan berlawanan. Entah sepuluh tahun lagi apakah masih tetap begitu?
Di tempatku, hanya dengan membuka jendela, kau sudah bisa melihat birunya laut, hijaunya hutan, dan lapangnya hamparan sawah. Paling indah saat seperti ini, setelah hujan lalu matahari sore mengintip di balik awan. Dan pelan-pelan suara ayat-ayat Ilahi berkumandang dari masjid di dekat rumah, juga dari masjid-masjid kampung sebelah. Matahari terbenam dan aku bersyukur masih selalu takjub menyaksikannya. Saat aku terbangun jelang Subuh, suara-suara jangkrik bertasbih, di mana kota-kota tak menerima suara mereka lagi. Di tempat ini pula aku berbaur dengan para santri, menjalani kehidupan di bukit yang bernama Tonrongnge.

Para santri menyebutnya Penjara Suci. Tapi aku menamainya Tempat Tertinggi.

Pelangi di atas Penjara Suci


Masjid ini  tlah menyaksikanku tumbuh dewasa

Sunset yg bisa kuliat kapanpun aku mau, cukup lewat jendela :)

view depan rumah. saat kemarau, semua hijau ini berubah coklat 
Aku telah melintasi benua, samudera dan menginjak tempat demi tempat yang asing di luar sana, tapi aku tetap kembali ke sini, ke Tempat Tertinggi. Aku telah bertemu sungai-sungai maha indah, jalan-jalan lebar nan mulus, dan padang pasir yang menakjubkan, tapi aku tetap pulang ke sini, ke Tempat Tertinggi. Di mana hanya ada aku yang sebenarnya. Di mana aku bisa melihat apa yang tak bisa kulihat di tempat lain.
“Kita bisa saja pergi, tapi apakah kita akan lebih bahagia?” Kalimat suamiku terulang di memori. Mendesak untuk dijawab. Tapi cukup diam adalah jawaban. Seperti kata seseorang: rumah seburuk apapun juga, ia selalu menantimu pulang.
Beberapa bulan kemudian, sebuah berita datang yang tadinya sempat terlupakan.  Aku lulus CPNS dosen di sebuah instansi universitas negeri di kota Palu, Sulawesi Tengah.  Dari semua orang, kenapa aku? Dari semua yang berharap, Tuhan memilihku? Dari semua doa yang kuucap, ini yang terkabul? Aku berbisik lirih pada diri sendiri: “Inikah tanda dari Tuhan? Bahwa tempat ini harus kutinggalkan?”
Arah mata angin tetap sama, tetapi arah perjalananku kini berbeda. 
Dengan bismillah aku lahir
dengan bismillah pula aku akan mati
dengan bismillah aku pergi
dengan bismillah pula aku akan kembali.


2 komentar:

Lidya Fitrian mengatakan...

Subhanallah ada pelangi, sudah lama aku gak lihat pelangi

Anonim mengatakan...

suka baca yang ini,, kayanya adem dan damai suasana di sana ^_^